Pada 19 Juli 1982, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang adalah Ketua DKJ (1982-1985) berceramah di acara Komite Film DKJ. Makalahnya berjudul ”Kemungkinan-Kemungkinan Film Sebagai Media Dakwah di Indonesia".
Gus Dur mengkritik film seperti ”Atheis” dan ”Tauhid” langsung di depan sutradaranya, dilanjutkan tanya jawab bersama Rosihan Anwar, Syumanjaya, Syuba’ Asa, dan lain-lain.
Makalahnya diunggah di gusdur.net dengan judul ”Film dakwah diperlukan keragaman wajah dan kebebasan bentuk”.
Sumber audio: Arsip Dewan Kesenian Jakarta

(M)uncul tantangan sangat besar kepada para sineas kita: apakah mampu itu dialog-dialog yang mestinya terjadi secara mendalam diangkat secara filmis menjadi sesuatu yang tidak kering, tidak membosankan, tetapi tetap memiliki kedalaman.

Jelaslah dari penggambaran situasi film-film dakwah kita di atas bahwa para karyawan film kita masih harus bergulat dengan dua hal utama, formalisme agama dan penyajian kebenaran secara (satu) sisi belaka.

Bukankah fenomena yang terpampang begitu konkret dalam hampir semua sektor kehidupan itu justru menjadi makanan ampuh bagi dunia perfilman kita untuk membuat film bertema dakwah yang mampu berbicara secara kompleks dan dengan demikian secara meyakinkan?

Film-film dakwah di masa datang hanya akan dapat menjadi tontonan yang berharga kalau mampu mengembangkan keberanian untuk melepaskan diri dari bentuk penyampaian pesan secara formalistis belaka disamping mampu membebaskan diri dari pelemparan dan penengahan masalah secara sesisi.

Kebebasan bentuk penggarapan masalah dan keragaman penyajian masalah adalah keharusan mutlak kalau kita merasa terlipat dengan masa depan film sebagai medium dakwah agama Islam sebenarnya.

Film itu mendidik. Seni itu mendidik. Membebaskan, mendorong orang ke arah yang lebih baik. Kalau seni itu berhenti hanya kepada menyatakan apa yang ada, di sini sudah berhenti, tidak berfungsi kreatif lagi.
