Cahaya bertaut erat dengan kultur sinema. Sebelum era sinema digital, film sering disebut sebagai seni "melukis dengan cahaya". Di era digital, cahaya dalam sinema tak melulu bertaut dengan imaji "lukisan". Piksel dan kode digital bisa menyusun kemungkinan cahaya yang tak hingga pula. Apa pun itu, saat ia di ruang putar sinema, cahaya bertransformasi menjadi imaji dan disorot ke sebuah bidang atau memancar lewat gawai di tangan kita. Dari imaji-imaji, tersusunlah narasi, juga makna-makna.
Wahana yang menjadikan sebuah cahaya memusat ke satu arah, itulah misykat. Sebagaimana wahana senter yang menyorotkan cahaya untuk menyibak gelap. Atau, ceruk di dinding yang jadi tempat menyimpan lilin, obor, atau kandil kemerlap. Dan persis dalam dunia yang seakan gelap di atas gelap, kita membutuhkan "senter" atau kandil, untuk menerangi dunia kita. Dalam gulita, misykat diperlukan agar cahaya dapat terarah menuju titik terang dari kegelapan.
Dalam buku Misykat Cahaya-Cahaya (Misykat Al-Anwar) karya klasik Imam Al-Ghazali yang popular di Indonesia pada 1980-an, terpapar penjabaran tentang makna metafora cahaya dan misykat dalam surah An-Nur. Ada cahaya yang hanya tampak, ada yang hakikat. Gelap dunia pasca-Genosida Palestina, dengan misykat yang tepat, semoga membawa pada yang hakikat, agar bisa terlawan segala yang muslihat.
Tema Madani Fest 2025 melanjutkan tema Light pada 2021. Dunia masih berkutat dengan kegelapan, dan membutuhkan terang cahaya. "Misykat" atau ceruk cahaya perlu disediakan. Untuk mewadahi dan juga mengarahkan cahaya. Misykat dalam kegelapan kini bisa berupa upaya membangun pengetahuan bersama, formasi-formasi sosial lebih kukuh untuk aktivasi kewargaan, dan aktivasi ruang-ruang kota untuk membangun terang bagi semua warga.

